Welcome to AGAPE Blog..Please enjoy!!

Rabu, 16 Februari 2011

Sains Dalam Perspektif Lintas Agama

     Segala hal yang diklaim sebagai kebenaran harus terbuka untuk dikritik dan difalsifikasi, demikian juga kebenaran sains yang bebas nilai dan bersifat netral. Sains secara metodologis menggunakan pendekatan metode ilmiah (saintific method) yang biasa disebut logico-hipotetico-verifikatif tersusun dari sintesis rasionalis-empiris dengan objek yang telah ditentukan dan dibatasi sesuai dengan karakter keilmuan. Bagaimana pendapat kaum agamawan memandang sains dalam kerangka keyakinan mereka.
Kaum Katholik dengan sadar mengakui bahwa pada abad skolastik gereja telah melakukan kesalahan fatal atas doktrin kebenaran mereka, silang pendapat kebenaran dari prespektif sains dan gereja yang semakin menghangat dimulai sejak teori heliosentrisnya Copernicus yang menentang dogma gereja tentang konsep geosentris yang diakui kebenarannya pada masa itu. Ajaran gereja yang dogmatis semakin menguasai paradigma penganutnya sehingga siapapun yang tidak sependapat dengan “kitab suci” mereka maka di anggap kafir dan karena kafir itu sesat dan salah layak untuk dihukum dan disiksa, bahkan pasca copernicus, bruno dengan lantang mengumandangkan teori heliosentrisnya Copernicus hingga dia dibakar hidup-hidup oleh kaum pendeta.
Demikian juga dengan Galileo yang dipenjara seumur hidup karena ajarannya dianggap menyesatkan dan
menyimpang dari ajaran gereja. Kemudian pada abad ke 17 dimulailah abad pencerahan “aufklarung” di Perancis yang mampu membebaskan individu dari kungkungan hegemoni gereja sehingga perkembangan sains dan teknologi bisa sedemikian cepat.
Namun, pekembangan tersebut menjadi sebuah fenomena besar setelah dirasa bahwa banyak teknologi yang bebas nilai sehingga muncul dunia modern kapitalistik mekanistik yang sangat tidak memanusiakan manusia. dalam hal ini Katholik mengeluarkan statement tentang pentingnya prinsip nilai dalam internalisasi sains dan teknologi di kehidupan sehari-hari, namun tidak diterangkan secara lebih lanjut bahwa prinsip nilai itu hanya layak untuk diterapkan dalam ranah teknologi teknis yang praktis dan fungsional bukan dalam tataran sains secara konseptual dan teoritik karena pada hakekatnya perkembangan sains bersifat bebas nilai, alamiah, dan hierarkis. Relatifitas Einstein tak akan ditemukan tanpa teori deterministik klasik Newton, geometri non-euclid takkan ditemukan tanpa didahului geometri euclid. Dalam hal ini sangat jelas kesalahan persepsi tentang sifat-sifat sains. Jika sains itu bebas nilai tapi aplikasi sains yang berupa teknologi tidak bebas nilai, dalam tataran inilah agama menjadi landasan moral dalam penggunaan teknologi.
     Kemudian, umat Islam dalam sisi utility sama dengan kaum Katholik, tapi disisi lain menganggap bahwasannya segala konsep sains sekaligus perkembangannya telah ada secara mutlak dalam al-quran sedangkan kemampuan manusia hanya dapat mengetahui sedikit dari dalam al-quran. Artinya disini ada tuntutan untuk mencari dan memahami sains dalam al-quran yang secara tersurat maupun yang tersirat dengan menggunakan ijtihad atau nalarnya. Jadi, pada dasarnya islam mencoba untuk mereduksi al-quran pada wilayah sains serta menafikan eksistensi hakekat sains sejarah dan pekembangannya yang telah dimulai sejak zaman Babilonia primitif sampai pada zaman modern sekarang ini. Geneologi sejarah perkembangan sains ada pada umat Islam dan memandang sebelah mata sains barat karena dianggap telah melakukan distorsi sejarah dalam tataran sains dan teknologi.
Kemudian, umat Islam menghembuskan pembongkaran sains dalam al-quran, Dengan demikian, ada semacam persamaan metodologi dalam mempelajari al-quran dan sains padahal kedua hal tersebut pada hakekatnya mempunyai pendekatan metodologis yang berbeda dimana agama dimulai dari keyakinan dengan metode yang dogmatis dan menggunakan teori kebenaran yang doktriner, sedangkan sains dimulai dengan keraguan yang menerapkan konsep kebebasan dalam penjelajahan dunia sains dengan menggunakan metode ilmiah sebagai landasan dan pencarian kebenaran. Bisa ditebak bahwa pemateri dari Islam membawa misi dan kepentingan Islamisasi sains. Ada ketimpangan pemahaman ditingkatan banyak umat Islam penganut faham Islamisasi sains, yaitu bahwa sebenarnya apa yang telah ditemukan dan dikembangkan dalam ranah sains dan teknologi sudah ada lengkap dan sesuai dalam al-quran, sehingga banyak dari kalangan muslim yang mencaricari dalil dari ayat al-quran untuk mengembel-embeli atau menjustifikasi bahwa kebenaran ilmiah juga diterima dan sesuai dengan al-quran, akhirnya al-qur’an hanya difungsikan sebagai alat legitimasi dan klaim belaka, tindakan ini tentunya tidak arif jika memang benar bahwa tujuan dari Islamisasi sains adalah menggali al-quran dalam kaitannya dengan ketertinggalan umat islam atas non muslim tapi caranya mestinya bukan dengan mengislamkan sains, karena dengan demikian akan lebih membatasi ruang gerak penjelajahan keilmuan, apakah mungkin metode doktriner yang kebenarannya dianggap mutlak bisa sejalan dengan metode bebas yang kebenarannya relatif dan semua pihak boleh menguji dan memfalsifikasi, terbuka, netral dan tidak dogmatis, yang suatu saat bisa ditumbangkan dengan teori baru yang lebih valid.
     Kemudian, dari Konghucu menganggap non dikotomi antara sains dan agama, seperti halnya kaum sofis mereka menganggap kebenaran adalah relatif dan meniadakan kebenaran mutlak atas segala sesuatu.
Seperti ungkapan kausalistik klasik yang dengan statemen kaum sofis juga meniscayakan bahwa
stigma “tak ada kebenaran mutlak” sejalan dengan dugaan bahwa stigma tadi kemungkinan salah. Senjata makan tuan tadi bukan hanya meruntuhkan semua konsep yang telah tereduksi dari sana, namun lebih pada pernyataan yang meragukan, berupaya pada apologi yang tidak konsisten. Dari sinilah mereka kesulitan untuk menjawab pertanyaan sederhana “bagaimana mereka mendefinisikan sains dan agama?” sementara mereka sendiri yakin bahwa kebenaran adalah relatif, dan mereka juga yakin apapun jawaban dari mereka sama sekali mereka ragukan dan tidak diyakini. Inkonsistensi dari dua hal yang kontradiktif dalam segala ide yang muncul dari kaum sofis juga dipersepsikan dalam konteks pendekatan metodologis sains dan agama, sehingga muncul banyak kerancuan definisi dari istilah-istilah yang tereduksi dari sana. Agamawan budha memulai persepsinya dari ketidakpercayaan terhadap segala sesuatu, mereka sepakat dengan metode ilmiah sebagai metodologi formal dari penjelajahan sains.
     Secara persepsional, agama tidak diletakkan sebagai landasan moral tapi sebagai objek dalam pencarian kebenaran, yang dalam hal ini tampak subjektifitas dalam memahami sains dan agama sehingga keduanya menjadi parsial, sporadis, hanya sekedar berjalan sendiri-sendiri, serta lebih pada dikotomisasi sains dan agama, kedua-duanya tidak diposisikan secara proporsional. Tapi, mereka menganggap
bahwa pencerahan yang telah diklaim sebagai pembebasan dari belenggu akan kembali lagi menjadi mitos bagi perkembangan peradaban manusia. jadi secara inklusif mereka lebih toleran terhadap wacana yang memposisikan sains dan agama, namun tidak jelas peran agama dalam perkembangan sains.
Seperti halnya pandangan Islam, Hindu meletakkan agama sebagai sumber pengetahuan, mereka secara induktif membaca fenomena yang secara niscaya mereka terjebak pada masalah praktis yang tidak substansial. Demikian juga mereka menganggap dengan kuasa memegang kendali wacana kebenaran tanpa sedikitpun membuka diri untuk menerima kritik apalagi negasi dari pihak eksternal mereka. Sikap
tertutup semacam ini berimplikasi pada kemandekan perkembangan sains dalam kerangka teoritik sekaligus menghambat kemajuan peradaban manusia.
     Demikianlah secara sederhana dapat diprediksikan bahwa pandangan kaum agamawan terhadap sains dan teknologi sangat lekat dengan kritik karena secara substansial mereka telah menghegemoni sains yang dipersepsikan netral dan bebas nilai.
Kecenderungan akhir dari pewacanaan tersebut telah menyebabkan sains menjadi alat kuasa yang jelas bisa ditebak bagaimana posisi agama dalam persinggungan wacana dengan sains. Tapi secara arif sekali lagi diakui bahwa kebenaran sejati selalu terbukauntuk dikritik dan difalsifikasi, dibongkar dan dipertanyakan, dan selebihnya adalah secara alamiah mengiringi kebudayaan manusia. baiklah kalau tidak sepakat, sejenak kita renungkan makna filosofis ungkapan Albert Einstein:
“Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa”

Oleh: Bambang Riadi


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar